“Don’t yell at me !”,
Bang Uyan.
Mak Juki, “Cukup ! Gue
baru aja kehilangan bayi gue, kenapa gue juga harus kehilangan bangsa gue di
rumah gue sendiri ?!”
Dialog ini saya kutip
dari sebuah sinetron religi yang tayang pada Romadlon lalu. Apa yang diucapkan
oleh Mak Juki, menyiratkan sebuah ideologi yang hilang yakni ; Bahasa sebagai identitas
sebuah bangsa.
Penobatan bahasa Inggris
sebagai bahasa internasional membuat hampir seluruh negara mewajibkan
penduduknya untuk bisa berbahasa Inggris. Di Indonesia sendiri, hal ini
dilakukan dengan memasukkan pelajaran bahasa Inggris dalam kurikulumnya. Dan
tidak tanggung-tanggung, bahasa Inggris diberikan sejak siswa masih duduk di
bangku Taman Kanak-Kanak.
Bukan hal yang buruk
memang. Hanya entah sejak kapan terbentuk sebuah paradigma bahwa ia yang cakap
berbahasa Inggris adalah “keren”. Orangtua bangga jika anaknya yang Balita
mampu menyebutkan nama-nama benda dalam bahasa Inggris. Para remaja merasa
gagah bila lancar “cas cis cus” bahasa Inggris. Lantas dimana posisi bahasa
Indonesia kita tempatkan ?
Sudah sedemikian tergeser
posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional kita.
Bahasa sebagai salah satu
instrumen dalam komunikasi manusia menjadi indikator yang cukup jelas
mencerminkan pribadi/karakter penggunanya. Maka ketika kita merasa “keren”
berbahasa asing, bukankah itu cukup menjelaskan karakter bangsa kita yang memang
sering merasa bangga dengan “barang” milik orang lain. Tak hanya itu, faktanya
kini muncul istilah-istilah yang lazim kita ketahui disebut dengan “bahasa
alay”. Penggunanya, tentu saja generasi muda. Kata-kata seperti “ciyuuz”,
“miapah”, “clalu”, “chayank” dan banyak lagi, ini sedang sangat digandrungi
oleh anak-anak muda. Sepintas memang tak ada masalah. Sah-sah saja bukan untuk
menggunakan bahasa semau kita ? mau kita ucapkan seperti apapun, atau kita
tulis bagaimanapun, asal lawan bicara kita mengerti, ya boleh saja !. “lagian
kan Cuma becanda..!” begitu dalih mereka.
Tanpa disadari, ada
nilai-nilai yang “terbunuh”. Keseriusan salah satunya. Setiap hal yang terjadi
dalam hidup dihadapi dengan ringan. “jangan terlalu serius lah.. nanti malah
stres.” Itu komentar yang terlontar ketika ada salah satu pihak mengkritisi
fenomena “bahasa alay” tersebut. Tapi ini memang serius.
Ajip Rosidi dalam rubrik
Stilistika yang dimuat oleh koran
Pikiran rakyat menulis, bahasa selalu berubah. Dan perubahan ini mempengaruhi
cara berfikir, mempengaruhi konsep diri dan mempengaruhi sistem nilai di masyarakat.
Karena seringkali perubahan bahasa ini tidak dibarengi dengan konsep yang jelas
sehingga membuat bias makna hakikinya. Itulah yang terjadi saat ini. Bukan
bahasa Indonesia yang baik dan benar yang digunakan, melainkan bahasa alay yang
merusak tatanan bahasa.
Degradasi nilai-nilai
kehidupan salah satunya melalui bahasa, dan sasarannya tentu saja generasi
muda. Jadi harus ada rekonstruksi nilai yang dimasukkan dalam pelajaran bahasa
di sekolah-sekolah. Mesti ada kerjasama dari setiap elemen masyarakat agar
bahasa yang santun tetap hidup. Agar generasi muda tetap merasa “gagah”
berbahasa Indonesia yang baik dan benar, dan tidak meng’alay’kan
terminologi-terminologi yang ada.
Karena kita sebagai
pengguna bahasa menjadi cerminan karakter bangsa kita, bangsa Indonesia.
Iim Halimatus sa'diah
KKI 2012
Iim Halimatus sa'diah
KKI 2012
Tuntutan "Eksistensi" yang tak bisa di bantahkan oleh alibi apapun.. namun bukan berarti bahasa Indonesia hilang di peradaban negeri sndiri..bahasa indonesia akan tetap mnjadi embrio Indonesia yang tak terbantahkan..
BalasHapusNice articel ... keep bloging kawan ... salam PREDIKSI JITU hehehehe
BalasHapus