Kamis, 14 November 2013

Bahasa & Kita



“Enough ! Stop it !“, Juki.
“Don’t yell at me !”, Bang Uyan.
Mak Juki, “Cukup ! Gue baru aja kehilangan bayi gue, kenapa gue juga harus kehilangan bangsa gue di rumah gue sendiri ?!”
Dialog ini saya kutip dari sebuah sinetron religi yang tayang pada Romadlon lalu. Apa yang diucapkan oleh Mak Juki, menyiratkan sebuah ideologi yang hilang yakni ; Bahasa sebagai identitas sebuah bangsa.

Penobatan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional membuat hampir seluruh negara mewajibkan penduduknya untuk bisa berbahasa Inggris. Di Indonesia sendiri, hal ini dilakukan dengan memasukkan pelajaran bahasa Inggris dalam kurikulumnya. Dan tidak tanggung-tanggung, bahasa Inggris diberikan sejak siswa masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak.

Bukan hal yang buruk memang. Hanya entah sejak kapan terbentuk sebuah paradigma bahwa ia yang cakap berbahasa Inggris adalah “keren”. Orangtua bangga jika anaknya yang Balita mampu menyebutkan nama-nama benda dalam bahasa Inggris. Para remaja merasa gagah bila lancar “cas cis cus” bahasa Inggris. Lantas dimana posisi bahasa Indonesia kita tempatkan ?

Sudah sedemikian tergeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional kita.
Bahasa sebagai salah satu instrumen dalam komunikasi manusia menjadi indikator yang cukup jelas mencerminkan pribadi/karakter penggunanya. Maka ketika kita merasa “keren” berbahasa asing, bukankah itu cukup menjelaskan karakter bangsa kita yang memang sering merasa bangga dengan “barang” milik orang lain. Tak hanya itu, faktanya kini muncul istilah-istilah yang lazim kita ketahui disebut dengan “bahasa alay”. Penggunanya, tentu saja generasi muda. Kata-kata seperti “ciyuuz”, “miapah”, “clalu”, “chayank” dan banyak lagi, ini sedang sangat digandrungi oleh anak-anak muda. Sepintas memang tak ada masalah. Sah-sah saja bukan untuk menggunakan bahasa semau kita ? mau kita ucapkan seperti apapun, atau kita tulis bagaimanapun, asal lawan bicara kita mengerti, ya boleh saja !. “lagian kan Cuma becanda..!” begitu dalih mereka.

Tanpa disadari, ada nilai-nilai yang “terbunuh”. Keseriusan salah satunya. Setiap hal yang terjadi dalam hidup dihadapi dengan ringan. “jangan terlalu serius lah.. nanti malah stres.” Itu komentar yang terlontar ketika ada salah satu pihak mengkritisi fenomena “bahasa alay” tersebut. Tapi ini memang serius.

Ajip Rosidi dalam rubrik Stilistika yang  dimuat oleh koran Pikiran rakyat menulis, bahasa selalu berubah. Dan perubahan ini mempengaruhi cara berfikir, mempengaruhi konsep diri dan mempengaruhi sistem nilai di masyarakat. Karena seringkali perubahan bahasa ini tidak dibarengi dengan konsep yang jelas sehingga membuat bias makna hakikinya. Itulah yang terjadi saat ini. Bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar yang digunakan, melainkan bahasa alay yang merusak tatanan bahasa.

Degradasi nilai-nilai kehidupan salah satunya melalui bahasa, dan sasarannya tentu saja generasi muda. Jadi harus ada rekonstruksi nilai yang dimasukkan dalam pelajaran bahasa di sekolah-sekolah. Mesti ada kerjasama dari setiap elemen masyarakat agar bahasa yang santun tetap hidup. Agar generasi muda tetap merasa “gagah” berbahasa Indonesia yang baik dan benar, dan tidak meng’alay’kan terminologi-terminologi yang ada.

Karena kita sebagai pengguna bahasa menjadi cerminan karakter bangsa kita, bangsa Indonesia.

Iim Halimatus sa'diah
KKI 2012

2 komentar:

  1. Tuntutan "Eksistensi" yang tak bisa di bantahkan oleh alibi apapun.. namun bukan berarti bahasa Indonesia hilang di peradaban negeri sndiri..bahasa indonesia akan tetap mnjadi embrio Indonesia yang tak terbantahkan..

    BalasHapus
  2. Nice articel ... keep bloging kawan ... salam PREDIKSI JITU hehehehe

    BalasHapus