Rabu, 15 Januari 2014

PPT PROMO JURUSAN

Jumat, 06 Desember 2013

TIDAK BERHENTI PADA RETORIKA SAJA!

pemudapetra.wordpress.com
Era Reformasi__Pasca rezim Soeharto, kebebasan berbicara di ranah publik tidak di batasi. Sebagian masyarakat Indonesia jadi suka berbicara termasuk mengkritik tanpa solusi. Sehingga tak salah jika aku menjadi salah satu korban kebobrokan liberalisme.


Menelaah sikap tanggapku ketika menemukan hal yang mengganjal, menjadikanku berpikir bahwa kecenderunganku selalu mengkritik tanpa solusi_mengoceh tanpa dalih. Kesalahan, kekurangan, keburukan pada suatu instansi, kelompok dan individu aku kritisi, lalu menanggapinya dengan omongan belaka. Selalu ingin idealis tanpa realistis.


Kegetiran, keresahan dan ketidaknyamananku melihat realita yang ada, seharusnya tidak menjadikanku terus-menerus menghujat, menghina, saling lempar kesalahan atau bahkan saling menjatuhkan. Seperti yang pernah di sampaikan oleh Dr. Muh. Azhar (salah satu Dosen FAI UMY) ketika tulisannya mendapat kontroversi dari berbagai pihak; komentarilah dengan tulisan. Sikap tegas tersebut meyakinkanku bahwa “kritik melalui tulisan” cukup efektif dalam mempertahankan idealismeku, terlebih-lebih untuk kepentingan ummat. Namun tetap harus ada pada wilayah ke-anggun-an dalam mengkritik, dalam artian selalu menjaga etika dalam menyanggah, mengomentari atau mengusulkan saran.


Alhamdulillah, sekarang kita tahu apa yang seharusnya kita lakukan ketika menemui hal-hal yang menjengkelkan; yaitu dengan menulis.  Mari bersama-sama merubah keabstrakan berpendapat menjadi konsep yang jelas lewat menulis. 


Dan menulislah kekritisan konstruktif tanpa menjatuhkan kredibilitas siapun__dengan tanpa cara-cara yang kurang elegan.


Rifni Nurdieni-KKI 2013

TIBA DI TANAH PAPUA

Gumpalan awan tebal menghiasi langit siang itu. Matahari tak secerah biasanya, hari itu lebih cerah dari hari sebelumnya. Gumpalan awan bagaikan Kristal-kristal mengapung di udara. Terlihat dari maskapai penerbangan mereka tampak seperti ribuan kapas alam yang ingin terbang bebas di udara. Seolah-olah mereka memberikan ucapan selamat datang padaku ditanah ini.


Waktu di jam tanganku menunjukan pukul 11.25 WIB, itu berarti pukul 13.25 WIT. Deru maskapai Garuda Indonesia siap untuk melandas di daratan tepatnya di Lapangan Bandar Udara Internasional Mozez Kilangin. Ya, aku sudah tiba di tanah Papua, tanah kaya bagaikan surga katanya. Tanah dimana keluargaku memijakkan kaki, tanah dimana keluargaku mengadu nasib mengais rizki selama berpuluh tahun. Di tanah Papua inilah yang menjadikanku seperti aku yang sekarang ini, tepatnya di kota Timika kota kecil penuh kenangan.

Bandar udaranya tidak seperti Bandar udara di kota-kota besar seperti bandar udara Juanda, bandar dara Sultan Hasannudin Makassar, bandar bdara Soekarno-Hatta Jakarta dan bandar dara yang lain. Ini tampak seperti bangunan kecil minimalis tapi sangat mengesankan. Dengan perabotan khas Papua didalamnya membuat tempat ini lebih berkesan, seperti museum tapi bukan museum. Indahnya kebersamaan masyarakat Papua mendayung sampan yang tercorak dalam pahatan tangan-tangan hebat. Anggun nya batik Papua yang dipenuhi dengan corak Burung Surga yakni burung Cendrawasih dan alat musik Papua yakni Tifa dan semacamnya. Aku larut dalam keindahan bangunan minimalis ini. Tiba-tiba sosok seorang paruh baya berseragam dengan ID card menggantung mendekatiku .

Permisi ade,,ada yang bisa Bapak bantu kah? tanya nya dengan logat kental Papua.
ohiya terima kasih bapak. jawabku polos.
Kalau Bapak boleh tau, ade tiba dari mana kah?
Dari Jawa bapak, dua puluh menit yang lalu saya baru tiba . jawabku seraya tersenyum
Baik,,mari tong (kita) duduk sebentar sambil menunggu jemputan toh,,,! ajak si Bapak.

Kami pun duduk di kursi yang tak jauh dari pintu kedatangan. Sembari menunggu jemputan Ayah, aku pun menyempatkan berbincang dengan Bapak paruh baya tersebut. Beliau bernama Bapak Simpson yang menjabat sebagai  Manajer Perhubungan di Bandar Udara ini. Bapak Simpson bicara panjang lebar mengenalkan kepadaku Kabupaten Mimika. Dimana Kabupaten ini di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya, bagian selatan Laut Arafuru , sebelah timur Kabupaten Merauke dan sebelah barat dengan Kabupaten Fak-fak. Dan lebih khususnya di kota Timika dari segi  proyek infrastruktur, segi pendidikan, segi ekonomi sosial dan yang paling berkesan adalah budaya nya. Beliau mengenalkan berbagai budaya-budaya yang ada di kota Timika. Tampak banyak sekali seni kebudayaan di kota ini karena yang mendiami kota Timika bukan hanya satu dua suku namun banyak sekali. Seperti yang sudah dikenal banyak orang, mereka menyebutnya dengan Tujuh Suku yakni Amungme yang masyarakatnya mendiami wilayah pegunungan, Kamoro yang mendiami wilayah pantai dan juga lima suku kekerabatan yakni  Dani, Damal, Mee, Nduga, dan suku Moni.

Telepon genggamku berdering, nama ayah tertera disana.
Ayah,,,tunggu aku di pintu kedatangan ya. Jawabku bergegas karena bising sekali diluar sana. Banyak keluarga datang menjemput koleganya datang dari luar kota maupun luar negeri. Mereka saling panggil sesekali berteriak dan sangat berdesakan.

Sepertinya perbincangan dengan Bapak Simpson berakhir sampai disini. Dan semoga kami bisa bertemu di lain waktu.

Baik bapak, terima kasih atas pengenalanya pada kota ini dan saya mohon pamit. Kataku seraya menjabat tangan Bapak Simpson.
Oh,,sama-sama ade, justru Bapak senang sekali bisa membagi ilmu dan pengalaman seputar kota ini  dan semoga bisa bertemu di lain waktu e,,,. balas Pak Simpson.

Aku  pun bergegas keluar pintu dengan mendorong trolley dan  tampak Ayah dan dua sepupuku sudah menungguku di luar. Senang, gemetar, dan haru yang ku rasakan saat itu. Akhirnya bisa bertemu dengan Ayah setelah beberapa tahun kita berpisah.

Ayah,,,,,!

Tanpa basa basi aku pun langsung memeluk badan tegap ayah, betapa rindunya pelukan hangat dan kasih sayang ayah. Aku menangis haru dalam dekapanya. Tak ubahnya ayah, juga berkaca-kaca matanya. Sembari mengucapkan salam kepada sepupu, kami melepas pelukan. Kemudian ayah mengangkat koper dan barang lainya kedalam mobil dan meninggalkan Bandar udara.

Tiba jam berapa tadi, nak,,? Tanya ayah
Jam satu lebih yah,,seharusnya jam dua belas sudah tiba tapi delay di Ujung Pandang beberapa menit. Trus yah, masak koperku tadi mau di ambil sama orang, dia fikir itu kopernya kah apa! Oiyah yah,,mama kog nda ikut jemput? Sibuk kah? . Ocehku .
Mama dirumah sibuk, tadi ada tamu di rumah.  Tapi alhamdulillah koper dan lainya sudah kamu ambil kan? Lain kali di ingat-ingat barang bawaanya itu nak, jangan sampai diaku orang lagi ya! jawab ayah sambil sibuk mengendalikan gas mobil.

Mobil hitam terus melaju membawaku membelah aspal-aspal kota ini. Kecepatanya tidak lebih dari enam puluh kilo meter per jam. Ayah dengan santai memutar kendali mobil. Aku tertegun dalam lamunan seraya menyaksikan bangunan-bangunan dalam kota ini. Melewati gagahnya pohon cemara, dan beberapa Tower-tower koneksi jaringan. Melewati Lapangan Angkatan Udara (LANUD) yang luas dan bangunan khas berwarna biru mudanya. Sesekali Nampak berdiri hotel-hotel yang sangat megah dan Mall yang terbilang masih dini usianya.   Tidak seperti yang ku bayangkan, kota ini menciptakan kesan tersendiri. Bagaimana gereja-gereja berjejeran di kanan kiri jalan sesekali diselingi dengan Sekolah Dasar dan terlihat ukiran-ukiran khas Papua sangat elok.

Mataku tertuju pada Gereja Katedral yang sangatlah megah dan indah. Arsitektur modern tampaknya yang mendirikan bangunan seperti itu. Tampak ribuan jemaat berdatangan melakukan ibadah rutin, ku lihat satu persatu  wajah mereka. Kulit hitam rambut keriting berbalut dress bermotif burung cendrawasih cantik bagi yang perempuan dan baju kemeja batik khas papua sangat gagah bagi yang laki-laki.

Bukan hanya gereja, Masjid Agung Babussalam melengkapi keindahan kota Timika. Sangatlah megah didirikan dengan sentuhan pahatan yang indah. Dan warna khas Hijau, warna yang disukai oleh Rasulullah melengkapi keindahan masjid. Bukan hanya satu masjid, tetapi banyak sekali bangunan masjid yang berdiri di selah-selah jalan. Nampaknya aku mulai menyukai suasana kota ini, tetapi satu kendala yang membuatku agak terganggu. Cuaca dan matahari di tanah Papua sangatlah panas menembus pori-pori. Maklumlah, secara geografis letak wilayah Papua ada di ujung timur dimana matahari mulai menampakkan fajarnya. Jadi tidaklah heran jikalau panas nya tidak seperti panas di Jawa. 

Ayah membuyarkan lamunanku, sengaja menghidupkan radio agar kami tidak bosan di dalam mobil. Dua sepupuku sudah tertidur pulas beberapa menit yang lalu, karena memang perjalanan kami menghabiskan waktu satu jam lebih. Tepat  pada frekuensi 109.4 MHz Gema FM memutar sebuah lagu yang dilantunkan oleh salah satu penyanyi dari Papua yaitu Edo Kondolongit. Aku pun larut dalam nyanyian itu, dan tertidur. Sesekali terdengar samar-samar lagu kebanggaan masyarakat Papua. Dan aku pun bangga dengan semua isi Papua.

Tanah Papua tanah yang kaya , surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak madu adalah harta harapan
Tanah papua tanah leluhur disana aku lahir
Bersama angin bersama daun aku dibesarkan
Hitam kulit,,keriting rambut aku papua
Hitam kulit,,keriting rambut aku papua
Biar nanti langit terbelah aku papua



hutamy_fakiih *KKI-2013*