Era
Reformasi__Pasca rezim Soeharto, kebebasan berbicara di ranah
publik tidak di batasi. Sebagian masyarakat Indonesia jadi suka berbicara
termasuk mengkritik tanpa solusi. Sehingga tak salah jika aku menjadi salah
satu korban kebobrokan liberalisme.
Menelaah
sikap tanggapku ketika menemukan hal yang mengganjal, menjadikanku berpikir
bahwa kecenderunganku selalu mengkritik tanpa solusi_mengoceh tanpa dalih.
Kesalahan, kekurangan, keburukan pada suatu instansi, kelompok dan individu aku
kritisi, lalu menanggapinya dengan omongan belaka. Selalu ingin idealis tanpa
realistis.
Kegetiran,
keresahan dan ketidaknyamananku melihat realita yang ada, seharusnya tidak
menjadikanku terus-menerus menghujat, menghina, saling lempar kesalahan atau
bahkan saling menjatuhkan. Seperti yang pernah di sampaikan oleh Dr. Muh. Azhar
(salah satu Dosen FAI UMY) ketika tulisannya mendapat kontroversi dari berbagai
pihak; komentarilah dengan tulisan. Sikap tegas tersebut meyakinkanku
bahwa “kritik melalui tulisan” cukup efektif dalam mempertahankan idealismeku, terlebih-lebih
untuk kepentingan ummat. Namun tetap harus ada pada wilayah ke-anggun-an dalam
mengkritik, dalam artian selalu menjaga etika dalam menyanggah, mengomentari
atau mengusulkan saran.
Alhamdulillah,
sekarang kita tahu apa yang seharusnya kita lakukan ketika menemui hal-hal yang
menjengkelkan; yaitu dengan menulis. Mari bersama-sama merubah keabstrakan
berpendapat menjadi konsep yang jelas lewat menulis.
Dan menulislah kekritisan
konstruktif tanpa menjatuhkan kredibilitas siapun__dengan tanpa cara-cara yang
kurang elegan.
Rifni Nurdieni-KKI 2013
0 komentar:
Posting Komentar